Dingin yang menggigit. Di ketinggian 1.200 mdpl itu, setiap pagi warga Sembalun, Lombok Timur, tak pernah lepas dari selimut tebal. Bahkan ketika beraktivitas, misalnya shalat shubuh, selimut itu tergantung di badan. Dan sejak dua bulan terakhir, dingin kian menggigit, menerobos sela-sela tenda pengungsian.
“Sampai kapan ya, kami di sini? Sungguh tak mengenakkan. Malam hingga pagi hari, dingin sekali. Sedangkan saat siang, tenda luar biasa panasnya,” kata Mak Ewis, seorang pengungsi pada tim Sinergi Foundation.
Perubahan hidup drastis, dari berkecukupan hingga menjadi tak berpunya, dari hidup di rumah yang nyaman hingga tinggal di tenda pengungsian, menjadi nasib warga Lombok kini pasca gempa bumi. Sesungguhnya, siapa yang mau memilih hidup di pengungsian, berdesakan dengan puluhan keluarga lainnya dalam satu tenda?
Sementara itu, rumah-rumah berbangunan permanen yang dulu mereka tinggali terhentak gempa bumi. Hancur lebur, terhempas ribuan kali gempa selama dua bulan terakhir. Yang hanya retak, sudah ambruk. Yang sudah ambruk, sudah tak keruan bentuknya. Ingin membangun lagi, tapi tersembul rasa takut dan khawatir.
Mereka jatuh, namun kemudian harus bangun dan senantiasa tawakkal pada-Nya. Mereka mau bangkit! Karena tak mungkin membiasakan diri dalam kondisi terpuruk, sementara hidup terus berjalan. Ada masa depan yang harus diraih, dibangun kembali demi kehidupan yang lebih baik.
Lalu kemudian berboyong-boyong lembaga menawarkan konsep hunian sementara yang ramah gempa. Termasuk Sinergi Foundation, yang juga berikhtiar membantu dengan membawa “Balenta” (arti: rumah kita – red). Masyarakat maju bersama kami, dengan dana partisipatif membangun Balenta. Mereka bergotong-royong, memberdayakan bagian reruntuhan yang masih digunakan, demi berdirinya sebuah rumah.
Rumah pertama yang kami bangun dipersembahkan untuk Mak Isa, seorang janda berusia 85 tahun yang kini tinggal sendiri. Ia adalah wanita tangguh yang lulus berjuang melalui masa kritis akibat gempa. Alhamdulillah, kini hunian sementara bisa ia tinggali…
Di sisi lain, kami pun menginisiasi dibangunnya masjid berbahan bambu di Sembalun Bumbung, Lombok Timur. Tentu saja dengan konsep ramah gempa. Sehingga, mereka bisa kembali membangun ‘peradaban’ dari sana, seraya tak lupa bersimpuh sujud, mengingat diri untuk senantiasa menggantungkan diri pada-Nya.
Mengapa bambu? Dari penuturan arsitek yang kami datangkan, bambu dipilih karena memiliki banyak keunggulan. Tak hanya menekankan soal estetika, namun juga fungsi. Seratnya elastis, sangat baik dalam menahan beban tekan, tarik, geser, maupun tekuk. Dengan begitu, struktur bambu terbukti memperkuat bangunan di daerah gempa.
Kini, pembangunan Masjid Ramah Gempa di Sembalun, Lombok Timur, mulai berjalan. Sejumlah material tengah disiapkan. Tak lelahnya kami mengajak segenap donatur untuk turut memberikan dukungan terbaik bagi warga Lombok. Mari ikut berkontribusi, demi Lombok Bangkit.
This post was created with our nice and easy submission form. Create your post!
Comments
0 comments